Syaikh Habban berkata, “Anakku, inilah yang sedang kurenungkan dari tadi. Aku menerima surat dari raja, memerintahkan aku agar segera datang ke kota. Di sana sedang ada bencana besar dengan datangnya seorang Dahry (Atheis). Si Dahry telah menantang para ulama untuk berdebat dan mengadu hujjah tentang ada atau tidak adanya Tuhan. Si Dahry tentu saja berpendirian bahwa Tuhan itu tidak ada. Raja memintaku untuk menghadapi si Dahry. Pohon besar dalam mimpimu itu adalah aku. Babi itu adalah si Dahry. Sedangkan ular kecil itu adalah engkau, anakku. Sekarang pergilah menghadap Raja atas namaku. Allah menyertaimu.”
Ketika Hanafi kecil menghadap  Raja dengan membawa surat balasan, Sang Raja agak terkejut. Anak belasan  tahun berani menghadapi si Dahry. Namun Raja sadar bahwa Syaikh Habban adalah seorang khawwashul khawwash.
Pada hari yang ditentukan,  persidangan pun diadakan dengan dihadiri orang banyak. Ketika mengetahui  bahwa lawannya adalah seorang anak kecil, si Dahry protes, “Tuanku,  saya keberatan melakukan perdebatan dengan seorang anak kecil.”
Mendengar protes si Dahry,  Hanafi kecil mengacungkan tangan dan bersuara dengan lantang, “Tuanku  Raja yang mulia, saya juga sangat berkeberatan untuk melakukan debat  dengan ‘orang yang tidak punya aqal’ seperti si Dahry ini.
Si Dahry mencak-mencak di  hadapan Raja karena merasa terhina, “Tuanku, saya telah dihina di depan  umum. Saya mohon agar Tuanku Raja menangkap anak kecil ini atau guru  yang memberi kuasa kepadanya.”
Hanafi kecil membantahnya, “Tuanku Raja, ini adalah awal perdebatan. Bukan suatu penghinaan.”
Raja agak heran dan bertanya, “Hai anak kecil, apa alasanmu bahwa ucapanmu itu bukan suatu penghinaan?”
Hanafi kecil berdiri sambil  menudingkan tangannya kepada si Dahry, “Hai Dahry! Kalau Anda mengaku  beraqal, coba buktikan, di depan saya dan persidangan ini, mana dia aqal  Anda, bagaimana bentuknya, apa warnanya? Silahkan buktikan kepada kami  jika aqal Anda memang benar-benar ada. Agar kami semua bisa  menyaksikannya.”
Si Dahry bertambah marah, “Hai  anak ingusan! Itu pertanyaan gila dan tolol. Tidak ada seorang pun di  dunia ini yang dapat menunjukkan bentuk, rupa dan warna aqalnya.  Pertanyaan bodoh, hai anak kecil!”
Dengan tersenyum si Hanafi kecil  berkata, “Hai Dahry, pertanyaan Anda lebih bodoh dari pertanyaan saya.  Kenapa Anda hendak meminta dibuktikan bentuk dan rupa Tuhan, sedang Anda  sendiri tidak bisa membuktikan bentuk dan rupa aqal Anda.”
Si Dahry pun diam seribu bahasa. Dia merasa terjebak dengan perkataannya sendiri
Ada kisah menarik yang tertulis  di buku al Aqidah al Islamiyyah wa Ususuha. Siang, ketika mengisi  perkuliahan, seorang dosen mempertanyakan kepada segenap mahasiswanya,  “Apakah Tuhan itu ada ?” “Ada.” Jawab semua mahasiswa kompak. “Kalau  ada, apa buktinya?” kata dosen melanjutkan, “Kita hanya meyakini dan  mengimani sesuatu yang bisa kita indra saja. Kalau Tuhan tidak bisa kita  lihat, maka kita tidak bisa mengimaninya.” Para mahasiswa terkesiap,  ternyata dosennya adalah orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan.  Untuk beberapa saat, suasana hening. Setelah itu, ada seorang mahasiswa  yang duduk dibelakang mengangkat jarinya ingin memberikan jawaban,  “Apakah kita hanya meyakini sesuatu yang kasat mata saja; bisa diindra?”  “Ya.”jawab dosen tadi. Mahasiswa ini melanjutkan, “Kalau begitu, saya  berpendapat bahwa pak dosen tidak punya otak karena saya tidak melihat  otak bapak.” Dosen ini tercekat. Terdiam. Wajahnya merah padam karena  malu. Mungkin ia berpikir juga, “Betul juga ya, otak saya mana?” ha ha,  dasar orang atheis.
IMAM ABU HANIFAH R.A menjawab pertanyaan para atheis:
I.Kapan Allah itu ada?
Atheis : Pada tahun berapa Robbmu dilahirkan?
Abu Hanifah :Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak melahirkan dan tidak dilahirkan."
Atheis 
ada tahun berapa Dia berada?
Abu Hanifah : Dia berada sebelum adanya sesuatu.
Atheis :Kami mohon diberi contoh yang lebih jelas dari kenyataan!
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka empat?
Atheis :Angka Tiga
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka tiga?
Atheis :Angka dua
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka dua?
Atheis :Angka satu
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis :Tidak ada angka (nol).
Abu  Hanifah :Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang  mendahuluinya, kenapa kalian heran kalau sebelum Allah Yang Maha Satu  yang hakiki, tidak ada yang mendahului-Nya?
ada yg bilang ad -1,-2,-3....tapi tetep aja kn baliknya ke angka 1....
II. Maksud Allah Menghadap Wajahnya
Atheis: Kemana Robbmu menghadapkan wajahnya?
Abu Hanifah: Kalau kalian membawa lampu di gelap malam,kemana lampu itu menghadapkan wajahnya?
Atheis: Ke seluruh penjuru.
Abu Hanifah: Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma
buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta'ala, nur cahaya langit dan bumi?
III. Zat Allah SWT
Atheis: Tunjukkan kepada kami  tentang zat Robbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau cair  seperti air, atau menguap seperti gas?
Abu Hanifah: Pernahkah kalian mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis: Ya, pernah.
Abu  Hanifah: Semula ia berbicara dengan kalian dan mengge rak-gerakkan  anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam dan tidak bergerak. Nah apa yang  menimbulkan perubahan itu?
Atheis: Karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya.
Abu Hanifah: Apakah waktu keluarnya nyawa itu kalian masih ada disana?
Atheis: Ya, kami masih ada
Abu  Hanifah:Ceritakanlah kepadaku, apakah nyawanya itu benda padat, seperti  besi, atau cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Atheis: Entahlahlah kami tidak tahu.
Abu Hanifah: Kalau kalian tidak bisa mengetahui bagaimana zat maupun bentuk nyawa yang hanya sebuah makhluk,
bagaimana kalian bisa memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta'ala?!!
IV. Dimana Allah SWT
Atheis: Dimana kira-kira Robbmu itu berada?
Abu  Hanifah: Kalau kami membawa segelas susu segar ke sini, apakah kalian  yakin kalau dalam susu itu terdapat zat minyaknya (lemak)
Atheis: Tentu
Abu Hanifah: Tolong perlihatkan padaku, dimana adanya Zat minyak itu
Atheis: Membaur dalam seluruh bagiannya
Abu Hanifah: Kalau minyak yang makhluk itu tidak mempunyai tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak
kalian meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah ta'ala?
 V. Takdir Allah SWT
Atheis: Kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa kegiatan Robbmu kini?
Abu Hanifah: Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan
Atheis: Kalau orang masuk syurga ada awalnya,
kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?
Abu Hanifah: Hitungan angka pun ada awalnya tapi tidak ada akhirnya
Atheis: Bagaimana kita bisa makan dan minum disyurga tanpa buang air besar dan kecil?
Abu  Hanifah: Kalian sudah mempraktekkannya ketika kalian berada di dalam  perut ibu kalian. Hidup dan makan-minum selama sembilan bulan, akan  tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita
lakukan hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia.
Atheis: Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dengan dinafkahkan?
Abu  Hanifah: Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan  malah bertambah banyak,seperti ilmu. Semakin diberikan ilmu kita  semakin berkembang dan tidak berkurang.
 VI. Bukti Adanya Allah
Atheis: Perlihatkan bukti keberadaan Robbmu kalau memang dia ada
Abu  Hanifah ra berbisik kepada khadamnya agar mengambil tanah liat, lalu  dilemparkannya tanah liat itu ke kepala pemimpin orang atheis itu. Para  hadirin gelisah melihat peristiwa itu, khawatir terjadi keributan,  tetapi Abu Hanifah menjelaskan bahwa hal ini dalam rangka untuk  menjelaskan jawaban yang di minta kepadanya. Hal ini membuat orang  atheis mengenyitkan dahi,
Abu Hanifah: Apakah lemparan itu menimbulkan rasa sakit di kepala anda?
Atheis: Ya, tentu saja.
abu hanifah: Dimana letak sakitnya?
Atheis: Ya, ada pada luka ini.
Abu Hanifah: Tunjukkanlah padaku bahwa sakitnya itu memang ada, baru akan menunjukkan kepadamu dimana Robbku!
Orang  atheis itu tidak menjawab tentu saja tidak bisa menunjukkan rasa  sakitnya, karena itu adalah suatu rasa dan ghaib tapi rasa sakit itu  memang ada.
Atheis: Baik dan buruk sudah ditakdirkan sejak azal, tetapi kenapa ada pahala dan siksa?
Abu  hanifah: Kalau anda sudah mengerti bahwa baik dan buruk itu bagian  takdir, mengapa anda kini menuntut aku agar di hukum karena melempar  tanah liat ke dahi anda? bukankah perbuatan itu bagian dari takdir?
Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan masuk Islamnya para atheis tersebut di tangan Al Imam abu hanifah radhiallahu.
Sumber : danish56.blogspot.com

